Dari puncak yang sepinya jingga, aku dan matahari melihat hamparan bumi dalam sorotan yang menangkap seluruh wajahnya. “Bumi ini harus dijaga”, kataku layaknya Descartes dalam sorotan cogito ergo sum-nya. “Ah, bukan! Aku harus menjaga diriku terhadap bumi”.
Tak satu pun manusia yang terlahir normal, tidak mengetahui cahaya (light, nur). Ia yang membuat mata dapat melihat. Begitu hebatnya, cahaya seperti menghipnotis manusia untuk menjadikannya sebagai kebutuhan penting dan dicari. Sebaliknya menghipnotis manusia membenci dan karenanya menghindari kegelapan. Sehingga tidak seorang pun yang mengetahui cahaya tetapi tidak memahami betap pentingnya cahaya.. Dalam cara pandang oposisi-binner (gelap-terang); cahaya selalu menjadi pahlawan yang mengusir kegelapan. Jika kegelapan mengalahkan terang, maka terang menjadi sesuatu yang dicari untuk segera membunuh kegelapan. Manusiakah terhipnotis cahaya atau manusiakah yang telah menuhankan cahaya?
Cahaya dan penglihatan memiliki kesamaan pada unsur; sorotan terhadap obyek yang ditujunya. Sorotan tajam cahaya selalu memaksa kegelapan dan benda-benda yang dikandungnya menjadi cerah, terang. Namun karena kegelapan dan benda-benda yang dikandungnya adalah sesuatu yang lain dari cahaya, maka ia dalam sorotan tajam cahaya itu, dengan caranya sendiri mempertahankan eksistensinya. Perlawanan itu kemudian melahirkan bayang-bayang. Bagi cahaya, bayang-bayang adalah kegelapan dalam bentuknya yang berbeda; samar.
Sorotan tajam penglihatan sering kali dengan lancang, semaunya, mengirim pengetahuan dan abstraksi ke otak tentang sesuatu yang terlihat itu untuk selanjutnya (mungkin?) membentuk persepsi sebagai realitas. Penglihatan memaksakan lahirnya sebuah realitas baru untuk mengaanggapnya sebagai realitas sesungguhnya. Namun karena sesuatu yang terlihat itu memiliki realitasnya sendiri, ia dalam sorotan tajam penglihatan akan terus bertahan. Perlawanannya akan melahirkan pengetahuan, abstraksi bahkan persepsi baru; realitas bayang-bayang.
Akan hal itu, oleh Jacques Derrida, seorang filosof Prancis kelahiran El-Biar Aljazair, mengatakan bahwa sebuah penglihatan —seperti juga cahaya— merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap ”yang lain” (the others).
Di sana, dalam sorotan tajam kedepan itu, terdapat cahaya serta semangat untuk mencerahkan bayang-bayang dan kegelapan sebagai ”the others” yang tak terjangkau oleh indera. Dari proses ini, tergambar dengan sendirinya perbedaan antara; cahaya serta semangat yang melahirkan pengetahuan dan abstraksi si penglihat, dengan ”the others” yakni bayang-bayang dan kegelapan. Semangat mencerahkan menjadi dasar bagi penglihat —dalam skenarionya— ”menggauli” the others.
Pula setelah itu, ada semangat untuk menaklukkan ”yang lain” —yang membayang dan gelap itu— ke dalam pangkuan pengetahuan dan abstraksi si subjek. Ada keinginan untuk menjangkau dan merengkuh perbedaan ke dalam suatu bentuk kategori, menurut pengetahuan dan abstraksi si subjek. Selanjutnya lambat laun meuncul kehendak untuk menguasai dan menaklukkan ”yang lain”, dan membangun sebuah imperium kebenaran.
Dari proses inilah lahir sebuah klaim kebenaran (truth claim) atas suatu persepsi, lahir suatu kehendak penyeragaman. Di lain sisi dengan sendirinya mengingkari kemestian perbedaan atau keberagaman. Kooptasi, hegemoni, imperialisme, totalitarian, dan segala bentuk penaklukan terhadap ”yang lain”.
Menatap Wajah ”the Others”
Cogito ergo sum; “aku berpikir maka aku ada”, yang diproklamirkan oleh Deskartes, menjadi pijakan dasar bagi filsafat barat dalam membangun suatu bentuk keseluruhan dengan ego sebagai pusatnya. “Aku” didaulat menjadi pusat segala realitas ontologis dan menjadi prioritas utama yang mutlak dan tak tergugat. Egologi ini terus berkembang dalam sejarah metafisika barat dengan beragam terma; totality, interiority, imanensi, yang mendeskripsikan “Ada” mengkonstitusikan dirinya sendiri.
Totality dan terma-terma serupa lalu diinterupsi bahkan didobrak oleh kehadiran yang tak berhingga, the others; realitas lain yang tak dapat direduksi ke dalam ego dan pengetahuan saya. The others adalah orang lain, yang lain, yang beda, dan bukan diri saya, yang disebut eksteriority. Agar dapat menjumpainya, saya harus keluar dari imanensi saya dan ia membuka dimensi yang tak terhingga bagi diri saya. Saya tidak dapat menghampiri the others dengan bertolak dari “Aku”. Setiap orang (”saya”) tidak akan menghasilkan deskripsi yang persis sama tentang sesuatu. Para pelukis akan menghasilkan lukisan yang beda terhadap satu obyek.
Pemikiran yang membuka diri bagi the others
inilah yang oleh Emmanuel Levinas sebagai metafisika, yang dibedakannya
dengan ontologi yang hanya berpikir tentang ”yang sama”. Karenanya salah
satu tesis penting dari Levinas adalah memprioritaskan metafisika dan
etika di atas ontologi.
Mungkin ini bagian
dari maksud Tuhan memberi pesan; ”batasilah pandanganmu”. Agar cahaya
menjadi penerang bagi keberagaman semesta, tidak sebagai penerang bagi
sesuatu. Cahaya tidak pernah membunuh kegelapan, atau kegelapan membunuh
cahaya. Penglihatanlah yang membunuh keduanya.
Wallahu A’lam.