tag:blogger.com,1999:blog-83578894058742015642024-03-08T11:48:28.622-08:00filsafatDosen Universitas Al Asyariah Mandar, lahir di Kendari, pernah nyantri, dan belum punya cita-cita.hamdanhttp://www.blogger.com/profile/16061351408669989525noreply@blogger.comBlogger2125tag:blogger.com,1999:blog-8357889405874201564.post-45934496108578980102011-12-07T06:54:00.002-08:002022-04-23T20:33:59.358-07:00penglihatan<span style="font-family: verdana; font-size: 85%;"><b>oleh hamdan </b><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><br />
<br />
<span style="font-family: verdana; font-size: 85%;"><span style="font-style: italic;">Dari puncak yang sepinya jingga, aku dan
matahari melihat hamparan bumi dalam sorotan yang menangkap seluruh
wajahnya. “Bumi ini harus dijaga”, kataku layaknya Descartes dalam
sorotan cogito ergo sum-nya. “Ah, bukan! Aku harus menjaga diriku
terhadap bumi”.</span><br /><br />Tak satu pun manusia yang terlahir normal,
tidak mengetahui cahaya (light, nur). Ia yang membuat mata dapat
melihat. Begitu hebatnya, cahaya seperti menghipnotis manusia untuk
menjadikannya sebagai kebutuhan penting dan dicari. Sebaliknya
menghipnotis manusia membenci dan karenanya menghindari kegelapan.
Sehingga tidak seorang pun yang mengetahui cahaya tetapi tidak memahami
betap pentingnya cahaya.. Dalam cara pandang oposisi-binner
(gelap-terang); cahaya selalu menjadi pahlawan yang mengusir kegelapan.
Jika kegelapan mengalahkan terang, maka terang menjadi sesuatu yang
dicari untuk segera membunuh kegelapan. Manusiakah terhipnotis cahaya
atau manusiakah yang telah menuhankan cahaya?<br /><br />Cahaya dan
penglihatan memiliki kesamaan pada unsur; sorotan terhadap obyek yang
ditujunya. Sorotan tajam cahaya selalu memaksa kegelapan dan benda-benda
yang dikandungnya menjadi cerah, terang. Namun karena kegelapan dan
benda-benda yang dikandungnya adalah sesuatu yang lain dari cahaya, maka
ia dalam sorotan tajam cahaya itu, dengan caranya sendiri
mempertahankan eksistensinya. Perlawanan itu kemudian melahirkan
bayang-bayang. Bagi cahaya, bayang-bayang adalah kegelapan dalam
bentuknya yang berbeda; samar.<br /><br />Sorotan tajam penglihatan sering
kali dengan lancang, semaunya, mengirim pengetahuan dan abstraksi ke
otak tentang sesuatu yang terlihat itu untuk selanjutnya (mungkin?)
membentuk persepsi sebagai realitas. Penglihatan memaksakan lahirnya
sebuah realitas baru untuk mengaanggapnya sebagai realitas sesungguhnya.
Namun karena sesuatu yang terlihat itu memiliki realitasnya sendiri, ia
dalam sorotan tajam penglihatan akan terus bertahan. Perlawanannya akan
melahirkan pengetahuan, abstraksi bahkan persepsi baru; realitas
bayang-bayang.<br /><br />Akan hal itu, oleh Jacques Derrida, seorang
filosof Prancis kelahiran El-Biar Aljazair, mengatakan bahwa sebuah
penglihatan —seperti juga cahaya— merupakan salah satu bentuk kekerasan
terhadap ”yang lain” (the others).<br /><br />Di sana, dalam sorotan tajam
kedepan itu, terdapat cahaya serta semangat untuk mencerahkan
bayang-bayang dan kegelapan sebagai ”the others” yang tak terjangkau
oleh indera. Dari proses ini, tergambar dengan sendirinya perbedaan
antara; cahaya serta semangat yang melahirkan pengetahuan dan abstraksi
si penglihat, dengan ”the others” yakni bayang-bayang dan kegelapan.
Semangat mencerahkan menjadi dasar bagi penglihat —dalam skenarionya—
”menggauli” the others.<br /><br />Pula setelah itu, ada semangat untuk
menaklukkan ”yang lain” —yang membayang dan gelap itu— ke dalam pangkuan
pengetahuan dan abstraksi si subjek. Ada keinginan untuk menjangkau dan
merengkuh perbedaan ke dalam suatu bentuk kategori, menurut pengetahuan
dan abstraksi si subjek. Selanjutnya lambat laun meuncul kehendak untuk
menguasai dan menaklukkan ”yang lain”, dan membangun sebuah imperium
kebenaran.<br /><br />Dari proses inilah lahir sebuah klaim kebenaran (truth
claim) atas suatu persepsi, lahir suatu kehendak penyeragaman. Di lain
sisi dengan sendirinya mengingkari kemestian perbedaan atau keberagaman.
Kooptasi, hegemoni, imperialisme, totalitarian, dan segala bentuk
penaklukan terhadap ”yang lain”.<br /><br />Menatap Wajah ”the Others”<br /><br />Cogito
ergo sum; “aku berpikir maka aku ada”, yang diproklamirkan oleh
Deskartes, menjadi pijakan dasar bagi filsafat barat dalam membangun
suatu bentuk keseluruhan dengan ego sebagai pusatnya. “Aku” didaulat
menjadi pusat segala realitas ontologis dan menjadi prioritas utama yang
mutlak dan tak tergugat. Egologi ini terus berkembang dalam sejarah
metafisika barat dengan beragam terma; totality, interiority, imanensi,
yang mendeskripsikan “Ada” mengkonstitusikan dirinya sendiri.<br /><br />Totality
dan terma-terma serupa lalu diinterupsi bahkan didobrak oleh kehadiran
yang tak berhingga, the others; realitas lain yang tak dapat direduksi
ke dalam ego dan pengetahuan saya. The others adalah orang lain, yang
lain, yang beda, dan bukan diri saya, yang disebut eksteriority. Agar
dapat menjumpainya, saya harus keluar dari imanensi saya dan ia membuka
dimensi yang tak terhingga bagi diri saya. Saya tidak dapat menghampiri
the others dengan bertolak dari “Aku”. Setiap orang (”saya”) tidak akan
menghasilkan deskripsi yang persis sama tentang sesuatu. Para pelukis
akan menghasilkan lukisan yang beda terhadap satu obyek.</span><br />
<div style="font-family: verdana; text-align: justify;">
<span style="font-size: 85%;">Pemikiran yang membuka diri bagi the others
inilah yang oleh Emmanuel Levinas sebagai metafisika, yang dibedakannya
dengan ontologi yang hanya berpikir tentang ”yang sama”. Karenanya salah
satu tesis penting dari Levinas adalah memprioritaskan metafisika dan
etika di atas ontologi.</span></div>
<span style="font-family: verdana; font-size: 85%;"><br /></span><br />
<div style="font-family: verdana; text-align: justify;">
<span style="font-size: 85%;">Mungkin ini bagian
dari maksud Tuhan memberi pesan; ”batasilah pandanganmu”. Agar cahaya
menjadi penerang bagi keberagaman semesta, tidak sebagai penerang bagi
sesuatu. Cahaya tidak pernah membunuh kegelapan, atau kegelapan membunuh
cahaya. Penglihatanlah yang membunuh keduanya.</span></div>
<span style="font-family: verdana; font-size: 85%;"><br /><span style="font-style: italic;">Wallahu A’lam.</span></span>hamdanhttp://www.blogger.com/profile/16061351408669989525noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8357889405874201564.post-77429547579214537552011-12-07T06:51:00.001-08:002011-12-22T06:11:57.274-08:00dari kehendak yang tertindas ke radikalisme hasrat<b><span style="font-family: verdana;">oleh hamdan</span></b><br />
<br />
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-family: verdana;">Hal yang cukup serius menjadi wacana sepanjang study tentang
manusia terutama dalam dunia filsafat dan theologi adalah, gagasan
tentang kebebasan manusia. Gagasan ini mengalir indah dan menarik
perhatian setiap orang hingga mereka mencebur diri lalu hanyut di
dalamnya. Dari mana dan bagaimana gagasan ini muncul serta berkembang
sedemikian baik hampir tanpa interupsi dalam sejarah manusia ?</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">Dari Voluntarisme ke
Tuhan Mati</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Gagasan
kebebasan setidaknya dikemukakan lebih awal oleh bangsa Iblis kepada
manusia dalam kasus “Surga” --jika ini dianggap sebagai bagian dari
sejarah manusia. Saat itulah pertama kali manusia mendemonstrasikan
kebebasannya secara sempurna. Saat itu manusia pertama kali memfungsikan
kehendak (voluntas, will, iradah)–nya. Pertama kali meninggalkan
(mematikan?) Tuhan dalam dirinya, dan pertama kali mencairkan hasrat
(desire, hawa’)–nya. Manusia menerima dan melaksanakan gagasan kebebasan
dari Iblis untuk membongkar kemapanan sistem surgawi. Pemberontakan ini
juga merupakan awal dari interupsi manusia akan eksistensinya yang di
dominasi oleh eksistensi (atau intervensi) Ilahiyah.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Memahami kebebasan akan erat kaitannya
dengan persoalan kehendak. Sepanjang perkembangan filsafat, persoalan
kehendak tidak menjadi pembahasan yang mengantar pada terbentuknya suatu
aliran tertentu. Namun di sejumlah literatur dapat ditemukan bahwa
kajian tentang kehendak menjadi bagian terpenting dan tak terpisahkan
dari perdebatan para filosof.</span><br /><span style="font-family: verdana;"> </span><br /><span style="font-family: verdana;">Pada masa
Yunani Kuno pembahasan mengenai kehendak dapat diwakili oleh Plato dan
Aristoteles. Plato membagi jiwa manusia menjadi tiga tingkatan yakni,
pertama; akal atau rasio sebagai jiwa tertinggi. Kedua; kehendak yang
merupakan alat bagi akal. Dan ketiga; jiwa tempat bersemayamnya
nafsu-nafsu yang harus diatur oleh akal. Dalam hal ini Plato menempatkan
kehendak sebagai pelayan dari akal. Hampir senada dengan itu,
Aristoteles membagi keutamaan (arete) menjadi dua macam yakni, keutamaan
intelektual sebagai yang tertinggi, dan keutamaan moril. Yang pertama
bersumber dari rasio dan yang kedua bersumber pada kehendak manusia
(Misnal Munir, 1997).</span><br /><span style="font-family: verdana;"> </span><br /><span style="font-family: verdana;">Pemahaman tentang kehendak yang
disubordinasi di bawah akal atau rasio setidaknya bertahan hingga abad
pertengahan setelah Thomas Aquinas mencoba mengukuhkannya (Harun
Hadiwijoyo; 1980). Bahkan kemenangan akal atas kehendak mencapai
puncaknya ketika rasionalisme berhasil memberikan pengaruhnya yang besar
dalam dunia filasafat dan sains. Rene Descartes dengan “cogito ergo
sum”-nya membawa realitas dunia menjadi bagian dari dan dikendalikan
oleh ide-ide atau gagasan manusia. Namun Descartes mengakui bahwa
meskipun akal menjadi pengendali (pembimbing) bagi kehendak, tetapi akal
tetap memiliki keterbatasan. Sedangkan kehendak menjadikan manusia
memiliki kebebasannya dan mampu menembus kebuntuan pemikiran.</span><br /><span style="font-family: verdana;"> </span><br /><span style="font-family: verdana;">Memasuki era modern, pembahasan tentang peran dan kedudukan
kehendak dalam diri manusia diawali dari Perancis oleh Maine de Biran.
Peranan kehendak dalam diri manusia diangkat pada tataran aku (subyek)
walaupun masih bersifat temporal (Toeti Heraty; 1984). Pemikiran tentang
kehendak memperoleh tempat yang paling dominan dalam pemikiran
Schopenhauer dan Nietzsche. Keduanya sependapat bahwa hakekat manusia
adalah kehendaknya.</span><br /><span style="font-family: verdana;"> </span><br /><span style="font-family: verdana;">Bagi Schopenhauer hakekat manusia tidak
terletak pada pemikiran, kesadaran, atau rasio, melainkan pada
kehendaknya. Kehendak menjadi pendorong bagi seluruh aktivitas
kehidupan. Kehendak yang lebih tinggi adalah kehendak yang menunjuk pada
aktifitas berpikir, sedangkan kehendak yang lebih rendah adalah
kehendak yang menunjuk pada aktifitas tubuh. Sementara Nietzsche
beranggapan bahwa kehendak adalah pendorong untuk berkuasa. Dengan
pemikiran ini Nietzsche meniadakan segala pribadi atau apa saja yang
lebih berkuasa bagi manusia, segala yang dapat menjadi penghalang bagi
kehendak untuk berkuasa, termasuk dalam hal ini Tuhan. Dengan demikian
manusia dapat menjadi manusia unggul.</span><br /><span style="font-family: verdana;"> </span><br /><span style="font-family: verdana;">Deskripsi di atas memperlihatkan adanya sebuah arus pembebasan
kehendak --dan juga pembebasan manusia-- dari segala apa saja yang
membelenggunya. Proses ini berkembang secara otoperfektif melalui proses
pembiakan (sikatrisasi) gagasan dan aksi. Dari kehendak yang dikomandoi
oleh akal atau rasio menuju kehendak yang mengendalikan akal. Dari
kehendak yang didominasi oleh intervensi eksternal-transenden menuju
kehendak yang melahirkan “aku” sebagai pembunuh Tuhan. Dari semangat
voluntarisme hingga teologi Tuhan mati. Proses ini tumbuh dan berkembang
biak di kebun-kebun humanisme hingga membentuk kehidupan modernisme
ekstrim.</span><br /><span style="font-family: verdana;"> </span><br /><span style="font-family: verdana;">Semangat “kehendak bebas” ini menjadi
karakter penting bagi segala hal yang dikaitkan dengan kemoderenan.
Mereka yang menganggap agama sebagai sesuatu yang normatif, secara
bersamaan akan meganggap diri sebagai manusia moderen yang boleh
berbangga meruntuhkan tembok Ilahiyah. Anak yang menganggap orang tua,
guru, atau sekolah sebagai penasehat ulung, secara bersamaan akan
menjauhkan diri atau menghindar untuk selanjutnya hidup tanpa nasehat.
Mereka yang menganggap adat, norma, atau tradisi sebagai suatu hal yang
dapat menghambat, secara bersamaan akan meninggalkannya dan hidup
menurut kehendak sendiri.</span><br /><span style="font-family: verdana;">
</span><br /><span style="font-family: verdana;">Kehendaklah yang
merubah pikiran atau persepsi dan mendorong untuk melakukan tindakan
atau perbuatan. Kehendaklah yang menjadi pusat segala-galanya bagi
manusia. Kehendak yang dimaksud adalah kehendak dalam pengertian
“menghendaki” dan “tidak menghendaki” (menolak) sesuatu. Kehendaklah
yang mengatur (mendorong) untuk berfikir dan menolak untuk berfikir.
Serta kehendaklah yang mendorong untuk berbuat dan menolak untuk berbuat
sesuatu.</span><br /><span style="font-family: verdana;"> </span><br /><span style="font-family: verdana;">Oleh karenanya kesadaran modernitas
terbangun bukan atas dasar semangat rasionalisme, melainkan oleh
semangat voluntarisme untuk memperoleh segala bentuk kebebasan.
Rasionalisme hanyalah alat bantu untuk menjastifikasi atau melegalisasi
semangat voluntarisme melalui epistimologi dan argumentasi yang akurat.
Semangat voluntarisme membangun kesadaran otonomi manusia dan menggeser
segala sesuatu yang bersifat sakral profetik, apalagi mitos yang berbau
tahayyul. Gagasan tentang Tuhan mengalami kritik yang demikian radikal
dan tergeser oleh otonomi manusia, bahkan Tuhan menjadi mati atas
kehendak manusia.</span><br /><span style="font-family: verdana;"> </span><br /><span style="font-family: verdana;">Gagasan tentang kematian Tuhan misalnya
dikembangkan oleh Nietzsche, Kierkegaard, Fuerbach, Marx, Sartre, dan
lain-lain. Penolakan terhadap eksistensi Tuhan adalah penolakan Tuhan
yang di rasakan dalam konteks otonomi manusia yang bebas. “Tuhan mati”
merupakan keputusan teologi dalam arti ia bukan hanya penyangkalan tapi
juga sekaligus mengalami “tiadanya Tuhan”. (Rr. Siti Murtiningsih;
1997).</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">Menuju Revolusi Hasrat Postmodern</span><br /><span style="font-family: verdana;"> </span><br /><span style="font-family: verdana;">Kesadaran modernisme yang menempatkan otonomi manusia
(kehendak) sebagai sentrum eksistensialitas, tidak saja berhasil
membunuh Tuhan tetapi juga menjadi embrio budaya postmodern (postmodern
culture). Postmodern merupakan sebuah wacana yang didalamnya di ciptakan
ruang-ruang bagi pembebasan hasrat manusia dari berbagai kungkungan,
sehingga segala bentuk hasrat menemukan kanal-kanal pelepasannya di
segala aspek kehidupan. Karenanya hasrat tak pernah terpuaskan dan
bahkan sebaliknya cepat merasa bosan, ia terus mencari salurannya yang
tak terhingga. Dalam wacana Kapitalisme hal ini justru di salurkan lewat
mekanisme “kebosanan terencana”, planned absolescance (Yasraf ; 2000).</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Jacques Lacan mengemukakan bahwa
hasrat merupakan mekanisme utama pengubah sosial dan penggerak
kebudayaan, mendorong untuk mencari hal-hal baru. Olehnya itu hasrat
dapat bersifat konstruktif maupun destruktif. Kedua energi hasrat ini
diberi ruang yang sama untuk hidup, dan dibuat mengambang setelah
berbagai batasnya didekonstruksi secair mungkin.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Setidaknya ada empat model pembebasan
hasrat yang dikemukakan Yasraf dalam wacana postmodern. Pertama;
skizofrenia yang merupakan terminologi khas psikoanalisis dan dalam
wacana posmo digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial budaya
khususnya fenomena pembebasan hasrat dari berbagai aturan, kekangan,
kemapanan, keluarga, masyarakat, negara bahkan agama, dalam rangka
mengakui dan melepaskan segala hal yang bersifat non-human pada diri
manusia. Revolusi hasrat ini menggiring dan mengarahkan manusia posmo
menuju tiga posisi psikis yakni, orphans; tidak dibatasi oleh aturan
keluarga atau sosial, atheis; tidak dikendalikan oleh satu pun
kepercayaan, dan nomads; tidak pernah berada pada keyakinan atau
teritoral yang sama (inkonsistensi).</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Model kedua; adalah hipermoralitas sebagai
suatu kondisi dimana takaran moralitas tak dapat dipegang lagi karena
telah melampaui batas-batas benar-salah, baik-buruk, serta
manfaat-mudharat. Segalanya melebur satu sama lain tanpa katagori
melebihi redefinisi moralitas Nietzsche. Karenanya, segala tindakan
dilaksanakan bukan lagi atas dasar kesadaran moral melainkan berdasarkan
logika (pemenuhan, pembebasan) hasrat.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Model ketiga adalah; konsumerisme
melalui proyek Kapitalisme global dimana hasrat mengalir tanpa
interupsi. Lewat mesin hasratnya yang berputar tanpa henti, Kapitalisme
merasuk secara halus ke dalam jagat mental secara kolektif dan mencetak
watak konsumerisme massal. Proses ini sebagai teror (kekerasan yang
dilakukan secara halus) terhadap diri lewat jaringan semiotasi hidup
(gaya, makna status, penampilan).</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Kapitalisme global mendesain “keinginan”
menjadi “kebutuhan”, dan selanjutnya menggeser logika “kebutuhan”
kearah logika “hasrat”. Dunia konsumerisme menjadi dunia permainan gaya
hidup yang dibentuk oleh nilai-nilai keterpesonaan (fascination) dan
ekstasi, yang memuja “kecepatan” (speed) pergantian image, gaya, gaya
hidup, tontonan, dan identitas. Hidup akan membawa manusia bertamasya ke
dalam fragmentasi ruang material (tamasya materi) dengan kecepatan yang
begitu tinggi. Kecepatan membentuk panorama masyarakat posmo yang
dilukiskan Arthur Kroker dan David Cook sebagai panorama panik (panic),
histeria atau euphoria. Panik Kapital, komoditi, media, uang, seks dan
tontonan.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Model
keempat adalah perangkap gaya hidup. Masyarakat posmo dikonstruksi
secara sosial ke dalam berbagai ruang gaya hidup, sehingga terciptalah
ketergantungan mereka pada irama pergantian gaya, citra serta status
yang ditawarkan. Tak ada penolakan (massa) terhadap apa saja yang
disuguhkan, melainkan sikap diam (tanpa kritik atau interupsi) menerima
sekaligus bentuk kontradiktif pada diri mereka: khusuk beribadah sambil
rajin maksiat, khusuk dalam perenungan dan hanyut pula dalam ekstasi
konsumerisme, Ramadhan berjilbab setelah itu telanjang lagi. Dalam
tataran ini agama serta segala simbolnya menjadi “gaya hidup” belaka,
suatu ketika menjadi trend dan saat yang lain menjadi sampah kultur.
Demikian pula dengan cinta, pernikahan, keluarga, pergaulan,
solidaritas, dan sebagainya.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Sebagai monster kultur yang begitu menakutkan, dimanakah
revolusi hasrat --yang kami sebut sebagai radikalisme hasrat-- dapat
berkembang biak dengan subur? Satu-satunya lahan yang paling baik adalah
Demokrasi yang terbangun dari semangat kebebasan manusia bahwa; tak ada
demokrasi tanpa kebebasan. Monster ini akan berkembang seiring dengan
proses demokratisasi disegala aspek kehidupan. Tidak hanya sampai ke
dalam sebuah lingkungan rumah tangga sebagai kelompok terkecil dari
masyarakat. Tetapi lebih dalam sampai ke pojok-pojok tersepi dari aspek
psikologi setiap individu. Secara sempurna ia akan mendominasi
elemen-elemen kesadaran etika dan segera menggantikannya dengan
kesadaran hasrat.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Kebebasan
yang dikembangkan oleh kesadaran hasrat adalah kebebasan dalam
pengertian yang sebenarnya, serta apa yang sering disebut sebagai
kebebasan bertanggung jawab. Bahwa sepanjang seorang dapat bertanggung
jawab ia dapat melakukan apa saja, bahwa semua yang bisa dilakukan boleh
dilakukan. Sementara kesadaran etik tidak akan mampu hidup di lahan
demokrasi menghadapi monster revolusi hasrat atau radikalisme hasrat.
Sebab kesdaran etika berada pada frame; tidak semua yang bisa dilakukan
boleh dilakukan.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Itulah
selintas gambaran tentang ide-ide kebebasan yang mengalir sepanjang
sejarah manusia. Ide Iblis menjadi sumber inspirasi dan terus berkembang
secara otoperfektif hingga ke masa Yunani Kuno, Dunia Islam, Abad
Pertengahan, Rennaissance, Modernisme, hingga Postmodernisme. Dari
volunterisme ke teologi Tuhan mati menuju revolusi hasrat posmo yang
indikasinya begitu nampak di sekitar kita. Mungkin juga anda telah
terperangkap ke dalamnya, dan dalam kesadaran hasrat itu siapa saja
dapat menjadi aktor utama, anak-anak monster dari radikalisme hasrat.
Siapkah negeri ini menghadapinya? Bagaimana dengan anda?</span><br /><span style="font-family: verdana;">Bila modernisme dapat dianggap gagal
membunuh Tuhan secara teologis dalam diri manusia, maka posmo dengan
revolusi hasratnya akan membuat Tuhan menjadi frustrasi dan selanjutnya
“bunuh diri”.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Makassar,
10 September 2003</span></span>hamdanhttp://www.blogger.com/profile/16061351408669989525noreply@blogger.com0