oleh hamdan
Hal yang cukup serius menjadi wacana sepanjang study tentang
manusia terutama dalam dunia filsafat dan theologi adalah, gagasan
tentang kebebasan manusia. Gagasan ini mengalir indah dan menarik
perhatian setiap orang hingga mereka mencebur diri lalu hanyut di
dalamnya. Dari mana dan bagaimana gagasan ini muncul serta berkembang
sedemikian baik hampir tanpa interupsi dalam sejarah manusia ?
Dari Voluntarisme ke
Tuhan Mati
Gagasan
kebebasan setidaknya dikemukakan lebih awal oleh bangsa Iblis kepada
manusia dalam kasus “Surga” --jika ini dianggap sebagai bagian dari
sejarah manusia. Saat itulah pertama kali manusia mendemonstrasikan
kebebasannya secara sempurna. Saat itu manusia pertama kali memfungsikan
kehendak (voluntas, will, iradah)–nya. Pertama kali meninggalkan
(mematikan?) Tuhan dalam dirinya, dan pertama kali mencairkan hasrat
(desire, hawa’)–nya. Manusia menerima dan melaksanakan gagasan kebebasan
dari Iblis untuk membongkar kemapanan sistem surgawi. Pemberontakan ini
juga merupakan awal dari interupsi manusia akan eksistensinya yang di
dominasi oleh eksistensi (atau intervensi) Ilahiyah.
Memahami kebebasan akan erat kaitannya
dengan persoalan kehendak. Sepanjang perkembangan filsafat, persoalan
kehendak tidak menjadi pembahasan yang mengantar pada terbentuknya suatu
aliran tertentu. Namun di sejumlah literatur dapat ditemukan bahwa
kajian tentang kehendak menjadi bagian terpenting dan tak terpisahkan
dari perdebatan para filosof.
Pada masa
Yunani Kuno pembahasan mengenai kehendak dapat diwakili oleh Plato dan
Aristoteles. Plato membagi jiwa manusia menjadi tiga tingkatan yakni,
pertama; akal atau rasio sebagai jiwa tertinggi. Kedua; kehendak yang
merupakan alat bagi akal. Dan ketiga; jiwa tempat bersemayamnya
nafsu-nafsu yang harus diatur oleh akal. Dalam hal ini Plato menempatkan
kehendak sebagai pelayan dari akal. Hampir senada dengan itu,
Aristoteles membagi keutamaan (arete) menjadi dua macam yakni, keutamaan
intelektual sebagai yang tertinggi, dan keutamaan moril. Yang pertama
bersumber dari rasio dan yang kedua bersumber pada kehendak manusia
(Misnal Munir, 1997).
Pemahaman tentang kehendak yang
disubordinasi di bawah akal atau rasio setidaknya bertahan hingga abad
pertengahan setelah Thomas Aquinas mencoba mengukuhkannya (Harun
Hadiwijoyo; 1980). Bahkan kemenangan akal atas kehendak mencapai
puncaknya ketika rasionalisme berhasil memberikan pengaruhnya yang besar
dalam dunia filasafat dan sains. Rene Descartes dengan “cogito ergo
sum”-nya membawa realitas dunia menjadi bagian dari dan dikendalikan
oleh ide-ide atau gagasan manusia. Namun Descartes mengakui bahwa
meskipun akal menjadi pengendali (pembimbing) bagi kehendak, tetapi akal
tetap memiliki keterbatasan. Sedangkan kehendak menjadikan manusia
memiliki kebebasannya dan mampu menembus kebuntuan pemikiran.
Memasuki era modern, pembahasan tentang peran dan kedudukan
kehendak dalam diri manusia diawali dari Perancis oleh Maine de Biran.
Peranan kehendak dalam diri manusia diangkat pada tataran aku (subyek)
walaupun masih bersifat temporal (Toeti Heraty; 1984). Pemikiran tentang
kehendak memperoleh tempat yang paling dominan dalam pemikiran
Schopenhauer dan Nietzsche. Keduanya sependapat bahwa hakekat manusia
adalah kehendaknya.
Bagi Schopenhauer hakekat manusia tidak
terletak pada pemikiran, kesadaran, atau rasio, melainkan pada
kehendaknya. Kehendak menjadi pendorong bagi seluruh aktivitas
kehidupan. Kehendak yang lebih tinggi adalah kehendak yang menunjuk pada
aktifitas berpikir, sedangkan kehendak yang lebih rendah adalah
kehendak yang menunjuk pada aktifitas tubuh. Sementara Nietzsche
beranggapan bahwa kehendak adalah pendorong untuk berkuasa. Dengan
pemikiran ini Nietzsche meniadakan segala pribadi atau apa saja yang
lebih berkuasa bagi manusia, segala yang dapat menjadi penghalang bagi
kehendak untuk berkuasa, termasuk dalam hal ini Tuhan. Dengan demikian
manusia dapat menjadi manusia unggul.
Deskripsi di atas memperlihatkan adanya sebuah arus pembebasan
kehendak --dan juga pembebasan manusia-- dari segala apa saja yang
membelenggunya. Proses ini berkembang secara otoperfektif melalui proses
pembiakan (sikatrisasi) gagasan dan aksi. Dari kehendak yang dikomandoi
oleh akal atau rasio menuju kehendak yang mengendalikan akal. Dari
kehendak yang didominasi oleh intervensi eksternal-transenden menuju
kehendak yang melahirkan “aku” sebagai pembunuh Tuhan. Dari semangat
voluntarisme hingga teologi Tuhan mati. Proses ini tumbuh dan berkembang
biak di kebun-kebun humanisme hingga membentuk kehidupan modernisme
ekstrim.
Semangat “kehendak bebas” ini menjadi
karakter penting bagi segala hal yang dikaitkan dengan kemoderenan.
Mereka yang menganggap agama sebagai sesuatu yang normatif, secara
bersamaan akan meganggap diri sebagai manusia moderen yang boleh
berbangga meruntuhkan tembok Ilahiyah. Anak yang menganggap orang tua,
guru, atau sekolah sebagai penasehat ulung, secara bersamaan akan
menjauhkan diri atau menghindar untuk selanjutnya hidup tanpa nasehat.
Mereka yang menganggap adat, norma, atau tradisi sebagai suatu hal yang
dapat menghambat, secara bersamaan akan meninggalkannya dan hidup
menurut kehendak sendiri.
Kehendaklah yang
merubah pikiran atau persepsi dan mendorong untuk melakukan tindakan
atau perbuatan. Kehendaklah yang menjadi pusat segala-galanya bagi
manusia. Kehendak yang dimaksud adalah kehendak dalam pengertian
“menghendaki” dan “tidak menghendaki” (menolak) sesuatu. Kehendaklah
yang mengatur (mendorong) untuk berfikir dan menolak untuk berfikir.
Serta kehendaklah yang mendorong untuk berbuat dan menolak untuk berbuat
sesuatu.
Oleh karenanya kesadaran modernitas
terbangun bukan atas dasar semangat rasionalisme, melainkan oleh
semangat voluntarisme untuk memperoleh segala bentuk kebebasan.
Rasionalisme hanyalah alat bantu untuk menjastifikasi atau melegalisasi
semangat voluntarisme melalui epistimologi dan argumentasi yang akurat.
Semangat voluntarisme membangun kesadaran otonomi manusia dan menggeser
segala sesuatu yang bersifat sakral profetik, apalagi mitos yang berbau
tahayyul. Gagasan tentang Tuhan mengalami kritik yang demikian radikal
dan tergeser oleh otonomi manusia, bahkan Tuhan menjadi mati atas
kehendak manusia.
Gagasan tentang kematian Tuhan misalnya
dikembangkan oleh Nietzsche, Kierkegaard, Fuerbach, Marx, Sartre, dan
lain-lain. Penolakan terhadap eksistensi Tuhan adalah penolakan Tuhan
yang di rasakan dalam konteks otonomi manusia yang bebas. “Tuhan mati”
merupakan keputusan teologi dalam arti ia bukan hanya penyangkalan tapi
juga sekaligus mengalami “tiadanya Tuhan”. (Rr. Siti Murtiningsih;
1997).
Menuju Revolusi Hasrat Postmodern
Kesadaran modernisme yang menempatkan otonomi manusia
(kehendak) sebagai sentrum eksistensialitas, tidak saja berhasil
membunuh Tuhan tetapi juga menjadi embrio budaya postmodern (postmodern
culture). Postmodern merupakan sebuah wacana yang didalamnya di ciptakan
ruang-ruang bagi pembebasan hasrat manusia dari berbagai kungkungan,
sehingga segala bentuk hasrat menemukan kanal-kanal pelepasannya di
segala aspek kehidupan. Karenanya hasrat tak pernah terpuaskan dan
bahkan sebaliknya cepat merasa bosan, ia terus mencari salurannya yang
tak terhingga. Dalam wacana Kapitalisme hal ini justru di salurkan lewat
mekanisme “kebosanan terencana”, planned absolescance (Yasraf ; 2000).
Jacques Lacan mengemukakan bahwa
hasrat merupakan mekanisme utama pengubah sosial dan penggerak
kebudayaan, mendorong untuk mencari hal-hal baru. Olehnya itu hasrat
dapat bersifat konstruktif maupun destruktif. Kedua energi hasrat ini
diberi ruang yang sama untuk hidup, dan dibuat mengambang setelah
berbagai batasnya didekonstruksi secair mungkin.
Setidaknya ada empat model pembebasan
hasrat yang dikemukakan Yasraf dalam wacana postmodern. Pertama;
skizofrenia yang merupakan terminologi khas psikoanalisis dan dalam
wacana posmo digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial budaya
khususnya fenomena pembebasan hasrat dari berbagai aturan, kekangan,
kemapanan, keluarga, masyarakat, negara bahkan agama, dalam rangka
mengakui dan melepaskan segala hal yang bersifat non-human pada diri
manusia. Revolusi hasrat ini menggiring dan mengarahkan manusia posmo
menuju tiga posisi psikis yakni, orphans; tidak dibatasi oleh aturan
keluarga atau sosial, atheis; tidak dikendalikan oleh satu pun
kepercayaan, dan nomads; tidak pernah berada pada keyakinan atau
teritoral yang sama (inkonsistensi).
Model kedua; adalah hipermoralitas sebagai
suatu kondisi dimana takaran moralitas tak dapat dipegang lagi karena
telah melampaui batas-batas benar-salah, baik-buruk, serta
manfaat-mudharat. Segalanya melebur satu sama lain tanpa katagori
melebihi redefinisi moralitas Nietzsche. Karenanya, segala tindakan
dilaksanakan bukan lagi atas dasar kesadaran moral melainkan berdasarkan
logika (pemenuhan, pembebasan) hasrat.
Model ketiga adalah; konsumerisme
melalui proyek Kapitalisme global dimana hasrat mengalir tanpa
interupsi. Lewat mesin hasratnya yang berputar tanpa henti, Kapitalisme
merasuk secara halus ke dalam jagat mental secara kolektif dan mencetak
watak konsumerisme massal. Proses ini sebagai teror (kekerasan yang
dilakukan secara halus) terhadap diri lewat jaringan semiotasi hidup
(gaya, makna status, penampilan).
Kapitalisme global mendesain “keinginan”
menjadi “kebutuhan”, dan selanjutnya menggeser logika “kebutuhan”
kearah logika “hasrat”. Dunia konsumerisme menjadi dunia permainan gaya
hidup yang dibentuk oleh nilai-nilai keterpesonaan (fascination) dan
ekstasi, yang memuja “kecepatan” (speed) pergantian image, gaya, gaya
hidup, tontonan, dan identitas. Hidup akan membawa manusia bertamasya ke
dalam fragmentasi ruang material (tamasya materi) dengan kecepatan yang
begitu tinggi. Kecepatan membentuk panorama masyarakat posmo yang
dilukiskan Arthur Kroker dan David Cook sebagai panorama panik (panic),
histeria atau euphoria. Panik Kapital, komoditi, media, uang, seks dan
tontonan.
Model
keempat adalah perangkap gaya hidup. Masyarakat posmo dikonstruksi
secara sosial ke dalam berbagai ruang gaya hidup, sehingga terciptalah
ketergantungan mereka pada irama pergantian gaya, citra serta status
yang ditawarkan. Tak ada penolakan (massa) terhadap apa saja yang
disuguhkan, melainkan sikap diam (tanpa kritik atau interupsi) menerima
sekaligus bentuk kontradiktif pada diri mereka: khusuk beribadah sambil
rajin maksiat, khusuk dalam perenungan dan hanyut pula dalam ekstasi
konsumerisme, Ramadhan berjilbab setelah itu telanjang lagi. Dalam
tataran ini agama serta segala simbolnya menjadi “gaya hidup” belaka,
suatu ketika menjadi trend dan saat yang lain menjadi sampah kultur.
Demikian pula dengan cinta, pernikahan, keluarga, pergaulan,
solidaritas, dan sebagainya.
Sebagai monster kultur yang begitu menakutkan, dimanakah
revolusi hasrat --yang kami sebut sebagai radikalisme hasrat-- dapat
berkembang biak dengan subur? Satu-satunya lahan yang paling baik adalah
Demokrasi yang terbangun dari semangat kebebasan manusia bahwa; tak ada
demokrasi tanpa kebebasan. Monster ini akan berkembang seiring dengan
proses demokratisasi disegala aspek kehidupan. Tidak hanya sampai ke
dalam sebuah lingkungan rumah tangga sebagai kelompok terkecil dari
masyarakat. Tetapi lebih dalam sampai ke pojok-pojok tersepi dari aspek
psikologi setiap individu. Secara sempurna ia akan mendominasi
elemen-elemen kesadaran etika dan segera menggantikannya dengan
kesadaran hasrat.
Kebebasan
yang dikembangkan oleh kesadaran hasrat adalah kebebasan dalam
pengertian yang sebenarnya, serta apa yang sering disebut sebagai
kebebasan bertanggung jawab. Bahwa sepanjang seorang dapat bertanggung
jawab ia dapat melakukan apa saja, bahwa semua yang bisa dilakukan boleh
dilakukan. Sementara kesadaran etik tidak akan mampu hidup di lahan
demokrasi menghadapi monster revolusi hasrat atau radikalisme hasrat.
Sebab kesdaran etika berada pada frame; tidak semua yang bisa dilakukan
boleh dilakukan.
Itulah
selintas gambaran tentang ide-ide kebebasan yang mengalir sepanjang
sejarah manusia. Ide Iblis menjadi sumber inspirasi dan terus berkembang
secara otoperfektif hingga ke masa Yunani Kuno, Dunia Islam, Abad
Pertengahan, Rennaissance, Modernisme, hingga Postmodernisme. Dari
volunterisme ke teologi Tuhan mati menuju revolusi hasrat posmo yang
indikasinya begitu nampak di sekitar kita. Mungkin juga anda telah
terperangkap ke dalamnya, dan dalam kesadaran hasrat itu siapa saja
dapat menjadi aktor utama, anak-anak monster dari radikalisme hasrat.
Siapkah negeri ini menghadapinya? Bagaimana dengan anda?
Bila modernisme dapat dianggap gagal
membunuh Tuhan secara teologis dalam diri manusia, maka posmo dengan
revolusi hasratnya akan membuat Tuhan menjadi frustrasi dan selanjutnya
“bunuh diri”.
Makassar,
10 September 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar