Rabu, 07 Desember 2011

penglihatan

oleh hamdan


Dari puncak yang sepinya jingga, aku dan matahari melihat hamparan bumi dalam sorotan yang menangkap seluruh wajahnya. “Bumi ini harus dijaga”, kataku layaknya Descartes dalam sorotan cogito ergo sum-nya. “Ah, bukan! Aku harus menjaga diriku terhadap bumi”.

Tak satu pun manusia yang terlahir normal, tidak mengetahui cahaya (light, nur). Ia yang membuat mata dapat melihat. Begitu hebatnya, cahaya seperti menghipnotis manusia untuk menjadikannya sebagai kebutuhan penting dan dicari. Sebaliknya menghipnotis manusia membenci dan karenanya menghindari kegelapan. Sehingga tidak seorang pun yang mengetahui cahaya tetapi tidak memahami betap pentingnya cahaya.. Dalam cara pandang oposisi-binner (gelap-terang); cahaya selalu menjadi pahlawan yang mengusir kegelapan. Jika kegelapan mengalahkan terang, maka terang menjadi sesuatu yang dicari untuk segera membunuh kegelapan. Manusiakah terhipnotis cahaya atau manusiakah yang telah menuhankan cahaya?

Cahaya dan penglihatan memiliki kesamaan pada unsur; sorotan terhadap obyek yang ditujunya. Sorotan tajam cahaya selalu memaksa kegelapan dan benda-benda yang dikandungnya menjadi cerah, terang. Namun karena kegelapan dan benda-benda yang dikandungnya adalah sesuatu yang lain dari cahaya, maka ia dalam sorotan tajam cahaya itu, dengan caranya sendiri mempertahankan eksistensinya. Perlawanan itu kemudian melahirkan bayang-bayang. Bagi cahaya, bayang-bayang adalah kegelapan dalam bentuknya yang berbeda; samar.

Sorotan tajam penglihatan sering kali dengan lancang, semaunya, mengirim pengetahuan dan abstraksi ke otak tentang sesuatu yang terlihat itu untuk selanjutnya (mungkin?) membentuk persepsi sebagai realitas. Penglihatan memaksakan lahirnya sebuah realitas baru untuk mengaanggapnya sebagai realitas sesungguhnya. Namun karena sesuatu yang terlihat itu memiliki realitasnya sendiri, ia dalam sorotan tajam penglihatan akan terus bertahan. Perlawanannya akan melahirkan pengetahuan, abstraksi bahkan persepsi baru; realitas bayang-bayang.

Akan hal itu, oleh Jacques Derrida, seorang filosof Prancis kelahiran El-Biar Aljazair, mengatakan bahwa sebuah penglihatan —seperti juga cahaya— merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap ”yang lain” (the others).

Di sana, dalam sorotan tajam kedepan itu, terdapat cahaya serta semangat untuk mencerahkan bayang-bayang dan kegelapan sebagai ”the others” yang tak terjangkau oleh indera. Dari proses ini, tergambar dengan sendirinya perbedaan antara; cahaya serta semangat yang melahirkan pengetahuan dan abstraksi si penglihat, dengan ”the others” yakni bayang-bayang dan kegelapan. Semangat mencerahkan menjadi dasar bagi penglihat —dalam skenarionya— ”menggauli” the others.

Pula setelah itu, ada semangat untuk menaklukkan ”yang lain” —yang membayang dan gelap itu— ke dalam pangkuan pengetahuan dan abstraksi si subjek. Ada keinginan untuk menjangkau dan merengkuh perbedaan ke dalam suatu bentuk kategori, menurut pengetahuan dan abstraksi si subjek. Selanjutnya lambat laun meuncul kehendak untuk menguasai dan menaklukkan ”yang lain”, dan membangun sebuah imperium kebenaran.

Dari proses inilah lahir sebuah klaim kebenaran (truth claim) atas suatu persepsi, lahir suatu kehendak penyeragaman. Di lain sisi dengan sendirinya mengingkari kemestian perbedaan atau keberagaman. Kooptasi, hegemoni, imperialisme, totalitarian, dan segala bentuk penaklukan terhadap ”yang lain”.

Menatap Wajah ”the Others”

Cogito ergo sum; “aku berpikir maka aku ada”, yang diproklamirkan oleh Deskartes, menjadi pijakan dasar bagi filsafat barat dalam membangun suatu bentuk keseluruhan dengan ego sebagai pusatnya. “Aku” didaulat menjadi pusat segala realitas ontologis dan menjadi prioritas utama yang mutlak dan tak tergugat. Egologi ini terus berkembang dalam sejarah metafisika barat dengan beragam terma; totality, interiority, imanensi, yang mendeskripsikan “Ada” mengkonstitusikan dirinya sendiri.

Totality dan terma-terma serupa lalu diinterupsi bahkan didobrak oleh kehadiran yang tak berhingga, the others; realitas lain yang tak dapat direduksi ke dalam ego dan pengetahuan saya. The others adalah orang lain, yang lain, yang beda, dan bukan diri saya, yang disebut eksteriority. Agar dapat menjumpainya, saya harus keluar dari imanensi saya dan ia membuka dimensi yang tak terhingga bagi diri saya. Saya tidak dapat menghampiri the others dengan bertolak dari “Aku”. Setiap orang (”saya”) tidak akan menghasilkan deskripsi yang persis sama tentang sesuatu. Para pelukis akan menghasilkan lukisan yang beda terhadap satu obyek.

Pemikiran yang membuka diri bagi the others inilah yang oleh Emmanuel Levinas sebagai metafisika, yang dibedakannya dengan ontologi yang hanya berpikir tentang ”yang sama”. Karenanya salah satu tesis penting dari Levinas adalah memprioritaskan metafisika dan etika di atas ontologi.


Mungkin ini bagian dari maksud Tuhan memberi pesan; ”batasilah pandanganmu”. Agar cahaya menjadi penerang bagi keberagaman semesta, tidak sebagai penerang bagi sesuatu. Cahaya tidak pernah membunuh kegelapan, atau kegelapan membunuh cahaya. Penglihatanlah yang membunuh keduanya.

Wallahu A’lam.

dari kehendak yang tertindas ke radikalisme hasrat

oleh hamdan

Hal yang cukup serius menjadi wacana sepanjang study tentang manusia terutama dalam dunia filsafat dan theologi adalah, gagasan tentang kebebasan manusia. Gagasan ini mengalir indah dan menarik perhatian setiap orang hingga mereka mencebur diri lalu hanyut di dalamnya. Dari mana dan bagaimana gagasan ini muncul serta berkembang sedemikian baik hampir tanpa interupsi dalam sejarah manusia ?

Dari Voluntarisme ke Tuhan Mati

Gagasan kebebasan setidaknya dikemukakan lebih awal oleh bangsa Iblis kepada manusia dalam kasus “Surga” --jika ini dianggap sebagai bagian dari sejarah manusia. Saat itulah pertama kali manusia mendemonstrasikan kebebasannya secara sempurna. Saat itu manusia pertama kali memfungsikan kehendak (voluntas, will, iradah)–nya. Pertama kali meninggalkan (mematikan?) Tuhan dalam dirinya, dan pertama kali mencairkan hasrat (desire, hawa’)–nya. Manusia menerima dan melaksanakan gagasan kebebasan dari Iblis untuk membongkar kemapanan sistem surgawi. Pemberontakan ini juga merupakan awal dari interupsi manusia akan eksistensinya yang di dominasi oleh eksistensi (atau intervensi) Ilahiyah.

Memahami kebebasan akan erat kaitannya dengan persoalan kehendak. Sepanjang perkembangan filsafat, persoalan kehendak tidak menjadi pembahasan yang mengantar pada terbentuknya suatu aliran tertentu. Namun di sejumlah literatur dapat ditemukan bahwa kajian tentang kehendak menjadi bagian terpenting dan tak terpisahkan dari perdebatan para filosof.

Pada masa Yunani Kuno pembahasan mengenai kehendak dapat diwakili oleh Plato dan Aristoteles. Plato membagi jiwa manusia menjadi tiga tingkatan yakni, pertama; akal atau rasio sebagai jiwa tertinggi. Kedua; kehendak yang merupakan alat bagi akal. Dan ketiga; jiwa tempat bersemayamnya nafsu-nafsu yang harus diatur oleh akal. Dalam hal ini Plato menempatkan kehendak sebagai pelayan dari akal. Hampir senada dengan itu, Aristoteles membagi keutamaan (arete) menjadi dua macam yakni, keutamaan intelektual sebagai yang tertinggi, dan keutamaan moril. Yang pertama bersumber dari rasio dan yang kedua bersumber pada kehendak manusia (Misnal Munir, 1997).

Pemahaman tentang kehendak yang disubordinasi di bawah akal atau rasio setidaknya bertahan hingga abad pertengahan setelah Thomas Aquinas mencoba mengukuhkannya (Harun Hadiwijoyo; 1980). Bahkan kemenangan akal atas kehendak mencapai puncaknya ketika rasionalisme berhasil memberikan pengaruhnya yang besar dalam dunia filasafat dan sains. Rene Descartes dengan “cogito ergo sum”-nya membawa realitas dunia menjadi bagian dari dan dikendalikan oleh ide-ide atau gagasan manusia. Namun Descartes mengakui bahwa meskipun akal menjadi pengendali (pembimbing) bagi kehendak, tetapi akal tetap memiliki keterbatasan. Sedangkan kehendak menjadikan manusia memiliki kebebasannya dan mampu menembus kebuntuan pemikiran.

Memasuki era modern, pembahasan tentang peran dan kedudukan kehendak dalam diri manusia diawali dari Perancis oleh Maine de Biran. Peranan kehendak dalam diri manusia diangkat pada tataran aku (subyek) walaupun masih bersifat temporal (Toeti Heraty; 1984). Pemikiran tentang kehendak memperoleh tempat yang paling dominan dalam pemikiran Schopenhauer dan Nietzsche. Keduanya sependapat bahwa hakekat manusia adalah kehendaknya.

Bagi Schopenhauer hakekat manusia tidak terletak pada pemikiran, kesadaran, atau rasio, melainkan pada kehendaknya. Kehendak menjadi pendorong bagi seluruh aktivitas kehidupan. Kehendak yang lebih tinggi adalah kehendak yang menunjuk pada aktifitas berpikir, sedangkan kehendak yang lebih rendah adalah kehendak yang menunjuk pada aktifitas tubuh. Sementara Nietzsche beranggapan bahwa kehendak adalah pendorong untuk berkuasa. Dengan pemikiran ini Nietzsche meniadakan segala pribadi atau apa saja yang lebih berkuasa bagi manusia, segala yang dapat menjadi penghalang bagi kehendak untuk berkuasa, termasuk dalam hal ini Tuhan. Dengan demikian manusia dapat menjadi manusia unggul.

Deskripsi di atas memperlihatkan adanya sebuah arus pembebasan kehendak --dan juga pembebasan manusia-- dari segala apa saja yang membelenggunya. Proses ini berkembang secara otoperfektif melalui proses pembiakan (sikatrisasi) gagasan dan aksi. Dari kehendak yang dikomandoi oleh akal atau rasio menuju kehendak yang mengendalikan akal. Dari kehendak yang didominasi oleh intervensi eksternal-transenden menuju kehendak yang melahirkan “aku” sebagai pembunuh Tuhan. Dari semangat voluntarisme hingga teologi Tuhan mati. Proses ini tumbuh dan berkembang biak di kebun-kebun humanisme hingga membentuk kehidupan modernisme ekstrim.

Semangat “kehendak bebas” ini menjadi karakter penting bagi segala hal yang dikaitkan dengan kemoderenan. Mereka yang menganggap agama sebagai sesuatu yang normatif, secara bersamaan akan meganggap diri sebagai manusia moderen yang boleh berbangga meruntuhkan tembok Ilahiyah. Anak yang menganggap orang tua, guru, atau sekolah sebagai penasehat ulung, secara bersamaan akan menjauhkan diri atau menghindar untuk selanjutnya hidup tanpa nasehat. Mereka yang menganggap adat, norma, atau tradisi sebagai suatu hal yang dapat menghambat, secara bersamaan akan meninggalkannya dan hidup menurut kehendak sendiri.

Kehendaklah yang merubah pikiran atau persepsi dan mendorong untuk melakukan tindakan atau perbuatan. Kehendaklah yang menjadi pusat segala-galanya bagi manusia. Kehendak yang dimaksud adalah kehendak dalam pengertian “menghendaki” dan “tidak menghendaki” (menolak) sesuatu. Kehendaklah yang mengatur (mendorong) untuk berfikir dan menolak untuk berfikir. Serta kehendaklah yang mendorong untuk berbuat dan menolak untuk berbuat sesuatu.

Oleh karenanya kesadaran modernitas terbangun bukan atas dasar semangat rasionalisme, melainkan oleh semangat voluntarisme untuk memperoleh segala bentuk kebebasan. Rasionalisme hanyalah alat bantu untuk menjastifikasi atau melegalisasi semangat voluntarisme melalui epistimologi dan argumentasi yang akurat. Semangat voluntarisme membangun kesadaran otonomi manusia dan menggeser segala sesuatu yang bersifat sakral profetik, apalagi mitos yang berbau tahayyul. Gagasan tentang Tuhan mengalami kritik yang demikian radikal dan tergeser oleh otonomi manusia, bahkan Tuhan menjadi mati atas kehendak manusia.

Gagasan tentang kematian Tuhan misalnya dikembangkan oleh Nietzsche, Kierkegaard, Fuerbach, Marx, Sartre, dan lain-lain. Penolakan terhadap eksistensi Tuhan adalah penolakan Tuhan yang di rasakan dalam konteks otonomi manusia yang bebas. “Tuhan mati” merupakan keputusan teologi dalam arti ia bukan hanya penyangkalan tapi juga sekaligus mengalami “tiadanya Tuhan”. (Rr. Siti Murtiningsih; 1997).

Menuju Revolusi Hasrat Postmodern

Kesadaran modernisme yang menempatkan otonomi manusia (kehendak) sebagai sentrum eksistensialitas, tidak saja berhasil membunuh Tuhan tetapi juga menjadi embrio budaya postmodern (postmodern culture). Postmodern merupakan sebuah wacana yang didalamnya di ciptakan ruang-ruang bagi pembebasan hasrat manusia dari berbagai kungkungan, sehingga segala bentuk hasrat menemukan kanal-kanal pelepasannya di segala aspek kehidupan. Karenanya hasrat tak pernah terpuaskan dan bahkan sebaliknya cepat merasa bosan, ia terus mencari salurannya yang tak terhingga. Dalam wacana Kapitalisme hal ini justru di salurkan lewat mekanisme “kebosanan terencana”, planned absolescance (Yasraf ; 2000).

Jacques Lacan mengemukakan bahwa hasrat merupakan mekanisme utama pengubah sosial dan penggerak kebudayaan, mendorong untuk mencari hal-hal baru. Olehnya itu hasrat dapat bersifat konstruktif maupun destruktif. Kedua energi hasrat ini diberi ruang yang sama untuk hidup, dan dibuat mengambang setelah berbagai batasnya didekonstruksi secair mungkin.


Setidaknya ada empat model pembebasan hasrat yang dikemukakan Yasraf dalam wacana postmodern. Pertama; skizofrenia yang merupakan terminologi khas psikoanalisis dan dalam wacana posmo digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial budaya khususnya fenomena pembebasan hasrat dari berbagai aturan, kekangan, kemapanan, keluarga, masyarakat, negara bahkan agama, dalam rangka mengakui dan melepaskan segala hal yang bersifat non-human pada diri manusia. Revolusi hasrat ini menggiring dan mengarahkan manusia posmo menuju tiga posisi psikis yakni, orphans; tidak dibatasi oleh aturan keluarga atau sosial, atheis; tidak dikendalikan oleh satu pun kepercayaan, dan nomads; tidak pernah berada pada keyakinan atau teritoral yang sama (inkonsistensi).


Model kedua; adalah hipermoralitas sebagai suatu kondisi dimana takaran moralitas tak dapat dipegang lagi karena telah melampaui batas-batas benar-salah, baik-buruk, serta manfaat-mudharat. Segalanya melebur satu sama lain tanpa katagori melebihi redefinisi moralitas Nietzsche. Karenanya, segala tindakan dilaksanakan bukan lagi atas dasar kesadaran moral melainkan berdasarkan logika (pemenuhan, pembebasan) hasrat.

Model ketiga adalah; konsumerisme melalui proyek Kapitalisme global dimana hasrat mengalir tanpa interupsi. Lewat mesin hasratnya yang berputar tanpa henti, Kapitalisme merasuk secara halus ke dalam jagat mental secara kolektif dan mencetak watak konsumerisme massal. Proses ini sebagai teror (kekerasan yang dilakukan secara halus) terhadap diri lewat jaringan semiotasi hidup (gaya, makna status, penampilan).


Kapitalisme global mendesain “keinginan” menjadi “kebutuhan”, dan selanjutnya menggeser logika “kebutuhan” kearah logika “hasrat”. Dunia konsumerisme menjadi dunia permainan gaya hidup yang dibentuk oleh nilai-nilai keterpesonaan (fascination) dan ekstasi, yang memuja “kecepatan” (speed) pergantian image, gaya, gaya hidup, tontonan, dan identitas. Hidup akan membawa manusia bertamasya ke dalam fragmentasi ruang material (tamasya materi) dengan kecepatan yang begitu tinggi. Kecepatan membentuk panorama masyarakat posmo yang dilukiskan Arthur Kroker dan David Cook sebagai panorama panik (panic), histeria atau euphoria. Panik Kapital, komoditi, media, uang, seks dan tontonan.

Model keempat adalah perangkap gaya hidup. Masyarakat posmo dikonstruksi secara sosial ke dalam berbagai ruang gaya hidup, sehingga terciptalah ketergantungan mereka pada irama pergantian gaya, citra serta status yang ditawarkan. Tak ada penolakan (massa) terhadap apa saja yang disuguhkan, melainkan sikap diam (tanpa kritik atau interupsi) menerima sekaligus bentuk kontradiktif pada diri mereka: khusuk beribadah sambil rajin maksiat, khusuk dalam perenungan dan hanyut pula dalam ekstasi konsumerisme, Ramadhan berjilbab setelah itu telanjang lagi. Dalam tataran ini agama serta segala simbolnya menjadi “gaya hidup” belaka, suatu ketika menjadi trend dan saat yang lain menjadi sampah kultur. Demikian pula dengan cinta, pernikahan, keluarga, pergaulan, solidaritas, dan sebagainya.

Sebagai monster kultur yang begitu menakutkan, dimanakah revolusi hasrat --yang kami sebut sebagai radikalisme hasrat-- dapat berkembang biak dengan subur? Satu-satunya lahan yang paling baik adalah Demokrasi yang terbangun dari semangat kebebasan manusia bahwa; tak ada demokrasi tanpa kebebasan. Monster ini akan berkembang seiring dengan proses demokratisasi disegala aspek kehidupan. Tidak hanya sampai ke dalam sebuah lingkungan rumah tangga sebagai kelompok terkecil dari masyarakat. Tetapi lebih dalam sampai ke pojok-pojok tersepi dari aspek psikologi setiap individu. Secara sempurna ia akan mendominasi elemen-elemen kesadaran etika dan segera menggantikannya dengan kesadaran hasrat.

Kebebasan yang dikembangkan oleh kesadaran hasrat adalah kebebasan dalam pengertian yang sebenarnya, serta apa yang sering disebut sebagai kebebasan bertanggung jawab. Bahwa sepanjang seorang dapat bertanggung jawab ia dapat melakukan apa saja, bahwa semua yang bisa dilakukan boleh dilakukan. Sementara kesadaran etik tidak akan mampu hidup di lahan demokrasi menghadapi monster revolusi hasrat atau radikalisme hasrat. Sebab kesdaran etika berada pada frame; tidak semua yang bisa dilakukan boleh dilakukan.

Itulah selintas gambaran tentang ide-ide kebebasan yang mengalir sepanjang sejarah manusia. Ide Iblis menjadi sumber inspirasi dan terus berkembang secara otoperfektif hingga ke masa Yunani Kuno, Dunia Islam, Abad Pertengahan, Rennaissance, Modernisme, hingga Postmodernisme. Dari volunterisme ke teologi Tuhan mati menuju revolusi hasrat posmo yang indikasinya begitu nampak di sekitar kita. Mungkin juga anda telah terperangkap ke dalamnya, dan dalam kesadaran hasrat itu siapa saja dapat menjadi aktor utama, anak-anak monster dari radikalisme hasrat. Siapkah negeri ini menghadapinya? Bagaimana dengan anda?
Bila modernisme dapat dianggap gagal membunuh Tuhan secara teologis dalam diri manusia, maka posmo dengan revolusi hasratnya akan membuat Tuhan menjadi frustrasi dan selanjutnya “bunuh diri”.

Makassar, 10 September 2003